Jumat, 22 April 2011

Mengenal Sebab Kesesatan Aqidah Tasybih

Mengenal Sebab Kesesatan Aqidah Tasybih; Dari Tulisan Imam Ibn al-Jauzi (Waspadai Ajaran Wahhabi, Sebarkan!!)


al-Hâfizh Ibn al-Jauzi menuliskan bahwa sebab kerancuan sebagian orang yang mengaku bermadzhab Hanbali dalam akidah mereka hingga mereka dicap sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (ahl al-tasybîh) adalah karena beberapa hal berikut;

Pertama: Mereka selalu menamakan setiap teks yang dinisbatkan kepada Allâh sebagai sifat-sifatnya (Akhbâr al-Shifât). Padahal tidak semua teks yang dinisbatkan kepada Allâh merupakan sifat-sifat-Nya. Bisa jadi penisbatan tersebut hanya penisbatan mudlâf dan mudlâf ilaih. Dan tidak semua nisbat idlafâh semacam ini bermakna sifat. Seperti dalam firman Allâh tentang nabi Adam: “Wa Nafakhtu Fîhi Min Rûhî…”. QS. Shad: 72. Ayat ini maknannya bukan berari Allâh memiliki sifat ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut ditiupkan kepada nabi Adam. Tapi makna ayat yang dimaksud adalah idlâfah tasyrîf; artinya ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allâh. Dengan demikian jelas salah bila setiap ayat dalam bentuk mudlaf dan mudlaf ilaih dianggap sebagai pengertian sifat.

Kedua: Mereka selalu berkata bahwa teks-teks al-Qur’ân atau hadits tersebut adalah bagian dari teks-teks mutasyâbihât yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allâh. Kemudian mereka berkata; Kewajiban kita hanya memaknai dan memberlakukan teks-teks tersebut sesuai zhahirnya. Pernyataan mereka ini adalah pernyataan yang sangat aneh. Mereka mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allâh, namun pada saat yang sama mereka memaknai teks-teks tersebut dengan makna zhahirnya. Padahal lafazh “yad” dalam bahasa Arab makna zhahirnya adalah “tangan”, yang berupa jari-jemari, daging, tulang darah dan lainnya. Kemudian lafazh “’ain” makna zhahirnya tidak lain adalah mata. Juga lafazh “istawa” makna zhahirnya adalah duduk dan bertempat. Atau lafazh “yanzil” yang makna zhahirnya adalah turun dalam arti berpindah tempat dari atas ke bawah. Apakah makna-makna zhahir semacam ini sesuai begi keagungan Allâh?! Bila tidak, lantas mengapa dikatakan bahwa kita harus memberlakukannya sesuai makna zhahirnya?!

Ketiga: Mereka selalu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh dengan sekehendak mereka sendiri. Setiap teks yang ada kaitannya dengan Allâh seringkali diklaim oleh mereka sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat bagi Allâh tidak boleh ditetapkan kecuali dengan adanya dalil-dalil yang pasti atas hal tersebut.

Keempat: Mereka tidak membeda-bedakan dalam menetapkan sifat bagi Allâh antara hadits yang mashur dengan hadits yang tidak shahih. Hadits yang mashur contohnya hadîts al-nuzûl; “Yanzil Rabbunâ Ilâ al-Samâ’ al-Dunyâ…”. Contoh hadits yang tidak shahih seperti hadits yang mengatakan: “Raitu Rabbî Fî Ahsan al-Shûrah…”. Mereka memandang bahwa kedua hadits tersebut merupakan hadits-hadist tentang sifat Allâh. Dan kerananya mereka kemudian menetapkan dengan landasan dua hadits tersebut adanya sifat “turun” dan “bentuk” bagi Allâh.

Kelima: Mereka tidak membeda-bedakan antara hadits marfû’ yang bersambung hingga Rasulullah dan hadits mauqûf yang hanya bersambung sampai kepada para sahabat, bahkan juga membedakannya dengan hadits maqthû’ yang hanya bersambung hingga tabi’in saja. Baik hadits marfû’, hadits mauqûf atau hadits maqthû’ oleh mereka dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allâh.

Keenam: Yang aneh dari mereka, beberapa teks al-Qur’ân atau hadits yang terkait dengan masalah ini dipahami dengan takwil, namun dalam teks-teks lain mereka memaknainya dengan makna-makna zhahir. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keteguhan keyakinan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi: “Wa Man Atânî Yamsyî, Ataituh Harwalah…”, mereka memaknai hadits ini dengan mentakwilnya. Maksud kandungan hadits ini, menurut mereka sebagai perumpamaan atau pendekatan kenikmatan kenikmatan dan karunia yang dianugerahkan oleh Allâh kepada hamba-hamba-Nya. Lantas di mana konsistensi mereka dalam memegang makna zhahir teks?! Padahal jelas secara zhahir makna hadits tersebut: “Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari keci…”.

Ketujuh: Mereka seringkali memberlakukan makna-makna indrawi dalam memahami teks-teks tersebut. Ini ditandai dengan adalanya lafazh-lafazh yang sering kali mereka tambahkan terhadap teks-teks tersebut. Seperti seringkali mereka berkata: “Yanzil Bi Dzâtih…” (Allah turun dengan Dzat-Nya), “Yanzil Wa Yatahawwal…” (Allah turun dan bergerak), “Istawâ Bi Ma’nâ al-Haqîqah…” (Allah benar-benar bertempat/bersemayam) dan tambahan lafazh lainnya. Lalu untuk mengecoh orang-orang awam mereka berkata: “Lâ Kamâ Na’qil…” (Tidak seperti yang kita pikirkan). Terkadang mereka juga berkata: “Lahû Yad Lâ Ka al-Aidî…” (Allah memilki tangan tapai tidak seperti semua tangan), “Lahû ‘Ain Lâ Kasâ’ir al-A’yun…” (Allah punya mata tapi tidak seperti setiap mata), “Lahû Qadam Lâ Kasâ’ir al-Aqdâm…” (Allah memiliki kaki tapi tidak seperti setiap kaki). Yang tersisa bagi mereka adalah untuk mengatakan: “Huwa Insân Lâ Kasâ’ir al-Nâs…” (Allah adalah manusia tatapi tidak seperti seluruh manusia). Adakah tauhid dalam keyakinan orang-orang semacam ini?? (Penjelasan lebih luas lihat Ibn al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 11-12).

Catatan:

Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri...

Ingat-ingat neeeh...!!! Keduanya jauh berbeda; yang pertama Imam Ahlussunnah terkemuka, sementara yang kedua adalah murid Ibn Taimiyah; yang dalam keyakinannya persis sama dengan kayakinan tasybih Ibn Taimiyah.

Awas salah!! Ibn Qayyim; murid Ibn Taimiyah ini di antara keyakinannya yang juga persis keyakinan gurunya; 1. Orang yang tawassul dengan Nabi atau orang-orang saleh adalah orang musyrik, 2. Perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah adalah perjanan maksiat, 3. Berkeyakinan Allah duduk di atas arsy, 4. Berkeyakinan bahwa neraka akan punah dan siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis, dan berbagai lainnya. Bukan isapan jempol, ini semua ada datanya, bahkan dia tuliskan dalam karya-karyanya sendiri...

Ingat... Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, dan aqidah mayoritas umat Islam, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.

Sabtu, 16 April 2011

Konsensus Para Sahabat Dan Imam Empat Madzhab;

"Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah".


Berikut ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang menyalahinya.

1. al-Khalifah ar-Rasyid, al-Al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata:

كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ

“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).

Beliau juga berkata:

إنّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ

“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).

2. Seorang tabi’in yang agung, al-Al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:

أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ

“Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).

Juga berkata:

أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا

“Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).

3. al-Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata:

مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ، إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا (أىْ مَخْلُوْقًا)

“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-” (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 6).

Aqidah Imam asy-Syafi'i (w 204 H);

Allah Ada Tanpa Tempat. Awas... Anda Jangan Terkecoh Oleh Ajaran Kaum Wahhabi!!!


Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).

Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:

واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)

“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:

إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)

“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.

SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.
Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum.....

Jumat, 18 Maret 2011

Mengapa Kita Memperingati Maulid Nabi?

Segala puji-pujian bagi Allah kembali terucap, sebagai rasa syukur kita kepada Allah yang telah menciptakan cahaya iman dan Islam yang menerangi alam ini melalui hamba pilihan-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Semoga sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau yang telah menegakkan kebenaran dan kedamaian di persada bumi ini, dan memperbaiki tradisi jahiliyah yang tidak punya aturan, kepada tradisi Islam bermoral dan berakhlak mulia.

Wahai saudara seiman…Sebagaimana yang telah anda ketahui bahwa 15 abad yang silam, telah diutus Nabi kita Muhammad sebagai penerus dan penegak kembali ajaran Islam yang telah padam sejak meniggalnya pengikut ajaran Nabi ‘Isa yang terakhir yaitu Zaid bin ‘Amar bin Naufal. Sekaligus Nabi kita Muhammad adalah Khatamun Nabiyyin (nabi terakhir yang menutup lembaran kenabian).

Ajaran yang dibawa oleh beliau sejalan dengan ajaran para nabi sebelumnya tidak ada perbedaan di antara mereka dalam dasar aqidah, hanya saja perbedaan terdapat dalam hukum syari’at, sebagai contoh: dalam syari’atnya Nabi Adam dihalalkan menikahi saudari kandung secara bersilang, sedangkan dalam syari’at nabi kita Muhammad hal itu di larang. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:

الأنبياء اخوة لعلات دينهم واحد وأمهاتهم شتى

Maknanya: ”Para nabi antara satu dengan yang lain seperti saudara seayah, agama mereka satu (aqidah mereka sama), namun syari’at mereka berbeda-beda (syariat mereka tidak sama)”.

Agama Islam bukanlah agama Nabi kita Muhammad saja, akan tetapi Islam agama seluruh nabi, sebagaimana dijelaskan dalam al Qur’an bahwa Allah ta’ala berfirman tentang nabi Ibrahim: “ حنيفا مسلما “ maknanya: “hanif lagi muslim”.

Adapun aqidah para nabi adalah aqidah tanzih (mensucikan Allah ta’ala dari menyerupai makhluk-Nya) Allah ta’ala tidak disifati dengan sifat-sifat mahluk-Nya, di antara sifat-sifat makhluk adalah: Bertempat, mempunyai arah, berpindah dari satu tempat ketempat yang lain, bergerak, diam, berubah, dll, dari sini kita pahami bahwa Allah ta’ala tidak di atas ‘Arasy, tidak di atas langit dan tidak di manapun, karna tempat adalah makhluk ciptaan Allah, sebelum diciptakannya tempat Allah ada tanpa tempat, kemudian setelah menciptakan tempat Allah tetap seperti semula, ada tanpa tempat, dalam arti tidak berubah, karna segala yang menerima perubahan adalah makhluk ciptaan-Nya.

Kemudian semua para nabi mengajak manusia untuk tidak menyembah selain Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya, Rasulullah bersabda:

أفضل ما قلت أنا والنبيون من قبلي لا إله إلا الله". رواه البخاري

Maknanya: ”Kalimat yang paling utama saya ucapkan dan para nabi sebelumku adalah لا إله إلا الله (tidak ada yang berhak untuk disembah (ditunduki dengan puncak ketundukan) kecuali Allah semata”.

Wahai saudaraku…sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa para ahli bahasa menamakan kalimat لا إله إلا الله dengan kalimat tauhid, ajaran inilah yang pertama sekali ditanamkan Rosulullah kepada para sahabatnya sebelum beliau mengajarkan hukum-hukum syari’at secara rinci.

Bukalah kembali lembaran sejarah, pasti kita dapati bahwa setelah dua belas tahun sesudah diangkatnya Nabi Muhammad menjadi seorang nabi dan rasul, baru diwajibkan sholat lima waktu tepatnya di malam Isra’ Mi’raj, dan puasa Ramadlan diwajibkan dua tahun sesudah hijrah. Adapun sebelum diwajibkannya sholat dan puasa, Rosulullah mengajarkan dan menanamkan akidah yang benar, yaitu aqidah tauhid, menyembah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan makhluk-Nya, di mana pada saat itu kaum Jahiliyyah kebanyakan adalah menyembah berhala.

Setelah kita mengetahui betapa besar jasa-jasa Rasulullah kepada umatnya dan ketiggian martabat serta keagungannya (dia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia, pemimpin para nabi dan rosul, dan dia diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam), maka sebagai ungkapan rasa syukur atas munculnya rahmat bagi seluruh alam, serta sebagai bukti kecintaan kepada Rasulullah, umat Islam di seluruh penjuru dunia memperingati maulid Nabi Muhammad.

Kalau ada orang yang bilang bukankah peringtan maulid ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah??? bukankah ini bid’ah??? kita katakan: iya…Anda benar!, hal ini tidak pernah dilakukan nabi dan para sahabatnya, bahkan para ulama salaf sekalipun. Namun semenjak berlaku diadakannyaperingatan mauled nabi ini pada permulaan abad ke enam hijriyyah, tiada satupun ulama yang mengingkarinya.

Peringatan maulid ini baru muncul di permulaan tahun 600 hijriyah, yang dirintis oleh Raja Irbil (seorang raja yang sholeh, bertaqwa dan pemberani) yang bernama al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukabari. Pada saat itu, beliau mengumpulkan para ulama hadits, ulama tasawuf dan lain-lain dari berbagai daerah yang berbeda-beda, tiada satupun dari mereka mengingkari diadakannya peringatan ini bahkan mereka semua mengangap bagus perbuatan tersebut. Di antara para ulama yang menhupas tuntas tentang hukum perayaan maulid nabi adalah: al-Hafidz as-Suyuthi dalam kitabnya “Husnul maqshid fi amal al-Maulid”, al-Hafidz ibnu Hajar al-Asqolani, dan al-Hafidz as-Sakhawi di dalam fatawanya.

Ibnu Khillikan mengatakan dalam kitabnya “Wafahatul A’yan” ketika menyebutkan biografi al-Hafidz Abu Khattab bin Dihyah: “Beliau adalah salah satu di antara pembesar ulama, yang masyhur keutamaan ilmunya, beliau berasal dari Maghrib, lalu datang ke negri Syam, setelah berkunjung ke Irak, melewati Irbil pada tahun 604 hijriyah, pada saat itu, beliau mendapati raja irbil al-Muzhafar bin Zainuddin sangat perhatian terhadap maulid nabi, maka al-Hafidz Abu al-Kattab mengarang sebuah buku tentang maulid yang bernama “at-Tanwir fi Maulid al-Basyir an-Nadzir” lalu beliau membacakannya di hadapan Raja Irbil, kemudian beliau diberi hadiah oleh raja tersebut seratus dinar”.

Tidak seorangpun dari ulama yang mengharamkan maulid nabi, pengharaman ini hanya muncul dari beberapa kelompok ekstrim yang muncul akhir-akhir ini, dengan menfatwakan bahwa maulid adalah bid’ah yang sesat. Alangkah baiknya, seandainya orang tersebut mempelajari tentang bida’ah sebelum dia berbicara.
Ketahuilah bahwa bid’ah itu tidak semuanya sesat dan tercela, imam Syafi’i -semoga Allah meridhoinya- menjelaskan tentang bid’ah sebagaiman diriwayatkan oleh al-Baihaqi, beliau mengatakan “Bid’ah terbagi dua: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, setiap bid’ah yang sejalan dengan al-Qur’an, hadist, ijma’ ulama’ dan perkataan ulama adalah bid’ah yang terpuji (hasanah), sementara segala bid’ah yang bertentangan dengan dasar-dasar hukum tersebut adalah bid’ah yang tercela (sayyi’ah). Perkataan imam Syafi’i ini, berdasarkan hadits shohih yang diriwayatkan oleh imam Muslim. Dari sini dapat kita pahami, bahwa peringatan maulid nabi yang sejalan dengan al-Qur’an dan sunnah adalah bid’ah yang terpuji.
Wallahu a’alam.

Minggu, 06 Maret 2011

तबर्रुक : MAKNA, HUKUM DAN PRAKTEK

Allah subhanahu wata’ala adalah pencipta sebab dan musabbab, Allah yang menciptakan kesembuhan, sedangkan obat dan dokter hanyalah sebatas perantara untuk mendapatkan kesembuhan.

Perlu kita ketahui bahwa bertabarruk dengan para nabi, rasul, wali dan peninggalannya bukanlah suatu penyembahan (ibadah) terhadap mereka, akan tetapi merupakan pengambilan suatu sebab, karena yang menciptakan manfaat dan bahaya yang sesungguhnya hanyalah Allah ta’ala, dan bukan berarti bertabarruk menafikan tawakkal (berserah diri) kepada Allah.

Tabarruk secara etimologi adalah mencari berkah, sementara berkah sendiri maknanya adalah tambahan kebaikan. Adapun dalam tinjauan syara’ berarti, memohon kepada Allah agar menjadikan berkah (tambahan kebaikan) dengan menggunakan sebab atau wasilah (perantaraan) nabi atau wali, baik dengan mendatangi makam nabi atau wali, atau dengan menyentuh atsar (peninggalan) dari meraka, seperti: baju, serban, tongkat, pedang, rambut dan lain-lain. Namun perlu digarisbawahi, bahwa dengan melakukan hal ini, bukan berarti nabi atau wali itu yang menciptakan kebaikan, akan tetapi yang kuasa menciptakan kebaikan hanyalah Allah ta’ala semata, adapun nabi atau wali hanyalah wasilah (perantara) saja.

Setiap orang mukmin berkeyakinan bahwa Nabi atau wali tidak bisa menciptakan apapun, mereka hanyalah sebab, dan Allah subhanahu wa ta’ala pencipta segalanya, baik itu berupa sebab ataupun lainnya. Bertabarruk dengan orang-orang sholeh adalah bagian dari agama. Para Nabi dan rasul telah mengajarkan kepada umatnya untuk bertabarruk, dan perbuatan ini bukanlah tergolong bid’ah qabihah (perkara baru yang jelek) yang bertentangan dengan agama.

Bertabarruk dengan peninggalan Nabi adalah sunnah, para Nabi mempunyai kelebihan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa seperti kita, karena semua yang ada pada diri seorang Nabi adalah berkah. Tidak diragukan lagi bahwa peninggalan Nabi Muhammad mengandung berkah, semua ini telah disaksikan oleh para sahabat beliau, mereka telah bertabarruk dengan rambut Nabi, sisa air wudlu, keringat, kuku dan bajunya, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Asma puteri sahabat Abu Bakar.

Tujuan Nabi membagi-bagikan rambutnya di antara para sahabat adalah agar berkah tetap di antara mereka dan juga sebagai pengingat untuk mereka।


Dalil-dalil bertabarruk diambil dari perbuatan Nabi saat beliau mencukur rambutnya ketika haji wada’, beliau meminta kepada sahabatnya Abu Thalhah al-Anshary untuk membagikannya kepada sahabat yang lain, beliau juga memotong kukunya dan membagikannya kepada para sahabat, sudah maklum Rasul membagikan kukunya bukanlah untuk dimakan, akan tetapi supaya mereka mendapatkan berkah dengannya. Sahabat Khalid bin Walid juga mengambil rambut kening Nabi dan diletakkan di kopyahnya, kemudian kopyah ini hilang di dalam suatu peperangan, maka dicarilah kopyah ini sampai dapat seraya berkata: “Sesungguhnya di dalam kopyah ini terdapat rambut kening Rasul, tidaklah kopyah ini aku pakai dalam sesuatu peperangan kecuali aku diberi kemenangan”.

Rambut Nabi telah tersebar di beberapa negara seperti: Arab Saudi, Kanada, Jerman, Lebanon, Amerika, Prancis dan negara arab lainnya. Budaya bertabarruk ini ada sejak zaman sahabat hingga sekarang, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Tripoli (Lebanon), mereka pada setiap hari jum’at di akhir bulan Ramadhan bertabarruk dengan rambut Nabi, mereka sanggup menunggu antrian panjang demi bertabarruk, melihat dan mencium rambut Nabi sallallahu‘alaihi wasallam. Acara tersebut dimulai setelah sholat fajar

dan dilanjutkan setelah sholat jum’at, ribuan orang ikut hadir dalam acara ini, baik laki-laki, perempuan, dewasa ataupun anak-anak. Tidak hanya penduduk Tripoli saja yang ikut hadir dalam acara ini, orang-orang dari luar Tripoli juga tidak mau ketinggalan dalam acara tahunan ini. Rambut rasul yang tersimpan di masjid al-Mansur al-Kabir ini adalah hadiah dari Sultan Utsmany Abdul Hamid kepada penduduk Tripoli, hadiah ini sangatlah berharga dan tidak ternilai harganya.

Tabarruk semacam ini juga masih berlaku di kalangan umat Islam di Indonesia, sebagai contoh umat Islam di daerah Gresik (jawa timur), mereka senantiasa bertabarruk dengan air di kolam bekas tempat wudlu Maulana Malik Ibrahim, tepatnya kolam tersebut berada di desa Pesucinan Manyar Gresik. Begitu juga para peziarah Wali Songo mereka mengambil berkah dari air sumur peninggalan para Wali tersebut. Rabbana fanfa’na bibarakatihim wahdina alhusna bihurmatihim. Amin…

Minggu, 27 Februari 2011

इन्गात्लाह...

Ingatlah wahai sudaraku…
Sesungguhnya mati adalah laksana segelas air ,
Semua orang pasti meminumnya.
Sedangkan kubur adalah laksana rumah,
semua orang pasti akan memasukinya.
Orang cerdas adalah orang yang menyiapkan diri
untuk kehidupan setelah mati, dengan bertaqwa dan beramal sholeh.

Kalian pasti akan mati!
Tua atau muda
Sehat atau sakit
Kaya atau miskin

Kalian pasti akan mati!
Senang atau sedih
Jaga atau tidur
Duduk atau berdiri

Kalian pasti akan mati!
Pekerja atau pengangguran
Jalan kaki atau naik kendaraan
Sendiri atau rombongan

Kalian pasti akan mati!
Lapar atau kenyang
Siang atau malam
Pagi atau petang

Kalian pasti akan mati!
Persiapkanlah bekal sebelum ajal datang.
Kematian datang tanpa diundang.
Sebelum penyesalan tinggal impian dan lamunan.

Setelah dikubur…???
Orang-orang tersayang kembali pulang.
Di dalam kubur sendiri tiada teman.
Anak-anak kalian ditaruh di panti asuhan.
Istri kalian berganti pasangan.
Rumah dan harta yang kalian kumpulkan,
dinikmati dan dihuni orang-orang yang membenci kalian.

Mati bukanlah akhir dari segalanya!!!
Cambukan malaikat siap menghadang.
Ular berbisa siap menerkam.
Ulat-ulat siap melumat daging kalian.
Himpitan liang kubur tak mengenal sayang.
Bara api menyala siap memanggang.
Hanya iman dan taqwalah teman dan penyelamat insan.

Kematian pasti akan datang!!!
Tapi anehnya…
Masih banyak yang tertipu
dengan gemerlapnya dunia dan bujukan syetan!!!